Serba-Serbi Poligami
by anggara
Beberapa waktu yang lalu aku menerima pertanyaan dari ymid naiya_cantik yang bertanya tentang proses cerai dalam hukum Islam. Kira-kira pertanyaannya adalah apakah ada hak yang hilang apabila istri menggugat cerai suami dan perbedaan antara isteri yang menuntut cerai dan suami yang menuntut cerai dan kemudian dia bercerita bahwa rekannya menikah dengan seorang laki-laki yang telah beristri (nah loh).
Wah ternyata banyak juga yang masih belum memahami tentang hukum dalam urusan keluarga seperti ini, enaknya di share di blog mungkin yaa
Di dalam hukum Islam, tidak ada perbedaan prinsipil antara istri atau suami yang menuntut cerai dan juga tidak ada hak yang kemudian hilang bila istri melakukan tuntutan cerai. Perbedaannya lebih ke perbedaan teknis yaitu apabila suami yang berkehendak cerai maka suami membuat permohonan talak ke Pengadilan Agama di tempat kedudukan termohon (istri), sementara bila istri yang berkehendak untuk cerai maka istri membuat gugatan cerai ke Pengadilan Agama di tempat kedudukan penggugat (istri) terkecuali bila istri meninggalkan rumah tanpa ijin suami maka gugatan dilakukan di Pengadilan Agama tempat kedudukan tergugat (suami) Diluar itu, maka sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip dari tuntutan cerai baik yang dilakukan oleh istri maupun suami
Lalu bagaimana dengan poligami…? Ini memang satu persoalan, untuk komunitas muslim maka yang berlaku adalah prinsip poligami terbatas (restricted poligamy) sementara diluar komunitas muslim maka yang berlaku prinsip adalah monogami mutlak (absolute monogamy).
Sebetulnya menurut kacamata hukum, meski Islam membolehkan poligami namun dibatasi pelaksanaannya dengan sangat ketat yaitu dengan adanya syarat “adil”. Persyaratan adil ini merupakan persyaratan yang sifatnya sangat subyektif karena sangat sulit menemukan batasan adil. Oleh karena itu dalam hukum postif Indonesia kemudian diterjemahkan dengan berbagai keadaan seperti keharusan adanya ijin dari istri terdahulu, adanya ketidakmampuan secara biologis dari pihak istri untuk melahirkan keturunan (menurutku sih syarat ini sangat tidak adil bagi perempuan), malah menurutku harus lebih diperketat lagi karena ijin ini seringkali dimanipulasi oleh laki-laki. Dalam pandanganku jika suami hendak menikah lagi maka selain ijin diperlukan penetapan pengadilan yang menetapkan bahwa suami diperbolehkan menikah lagi dengan syarat-syarat seperti mampu secara ekonomi untuk menghidupi “keluarga besarnya” dengan layak, kesiapan secara psikologis dari seluruh pihak yang terlibat dalam perkawinan poligami tersebut, dan juga apakah ada semacam “restu” dari keluarga suami, istri, dan calon istri.
Problemnya poligami di Indonesia seringkali tidak taat hukum (dalam hal ini aku tidak pernah mendukung dan merestui poligami) sehingga seringkali dilakukan pemalsuan dokumen dan identitas. Perkawinan poligami “aspal” ini bisa digugat secara perdata melalui lembaga pembatalan perkawinan dan juga dapat dipidana karena pemalsuan dokumen dan identitas (harus diingat bahwa lebih banyak laki-laki yang memalsukan dokumen dan identitas).
Nah, lalu apa yang harus dilakukan, menurutku sih paling aman ya jangan diliriklah poligami dan buat kaum perempuan berhati-hatilah dengan poligami ini karena lebih sering menjerumuskan semua dibanding manfaatnya
(anggara.wordpress.com)
Beberapa waktu yang lalu aku menerima pertanyaan dari ymid naiya_cantik yang bertanya tentang proses cerai dalam hukum Islam. Kira-kira pertanyaannya adalah apakah ada hak yang hilang apabila istri menggugat cerai suami dan perbedaan antara isteri yang menuntut cerai dan suami yang menuntut cerai dan kemudian dia bercerita bahwa rekannya menikah dengan seorang laki-laki yang telah beristri (nah loh).
Wah ternyata banyak juga yang masih belum memahami tentang hukum dalam urusan keluarga seperti ini, enaknya di share di blog mungkin yaa
Di dalam hukum Islam, tidak ada perbedaan prinsipil antara istri atau suami yang menuntut cerai dan juga tidak ada hak yang kemudian hilang bila istri melakukan tuntutan cerai. Perbedaannya lebih ke perbedaan teknis yaitu apabila suami yang berkehendak cerai maka suami membuat permohonan talak ke Pengadilan Agama di tempat kedudukan termohon (istri), sementara bila istri yang berkehendak untuk cerai maka istri membuat gugatan cerai ke Pengadilan Agama di tempat kedudukan penggugat (istri) terkecuali bila istri meninggalkan rumah tanpa ijin suami maka gugatan dilakukan di Pengadilan Agama tempat kedudukan tergugat (suami) Diluar itu, maka sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip dari tuntutan cerai baik yang dilakukan oleh istri maupun suami
Lalu bagaimana dengan poligami…? Ini memang satu persoalan, untuk komunitas muslim maka yang berlaku adalah prinsip poligami terbatas (restricted poligamy) sementara diluar komunitas muslim maka yang berlaku prinsip adalah monogami mutlak (absolute monogamy).
Sebetulnya menurut kacamata hukum, meski Islam membolehkan poligami namun dibatasi pelaksanaannya dengan sangat ketat yaitu dengan adanya syarat “adil”. Persyaratan adil ini merupakan persyaratan yang sifatnya sangat subyektif karena sangat sulit menemukan batasan adil. Oleh karena itu dalam hukum postif Indonesia kemudian diterjemahkan dengan berbagai keadaan seperti keharusan adanya ijin dari istri terdahulu, adanya ketidakmampuan secara biologis dari pihak istri untuk melahirkan keturunan (menurutku sih syarat ini sangat tidak adil bagi perempuan), malah menurutku harus lebih diperketat lagi karena ijin ini seringkali dimanipulasi oleh laki-laki. Dalam pandanganku jika suami hendak menikah lagi maka selain ijin diperlukan penetapan pengadilan yang menetapkan bahwa suami diperbolehkan menikah lagi dengan syarat-syarat seperti mampu secara ekonomi untuk menghidupi “keluarga besarnya” dengan layak, kesiapan secara psikologis dari seluruh pihak yang terlibat dalam perkawinan poligami tersebut, dan juga apakah ada semacam “restu” dari keluarga suami, istri, dan calon istri.
Problemnya poligami di Indonesia seringkali tidak taat hukum (dalam hal ini aku tidak pernah mendukung dan merestui poligami) sehingga seringkali dilakukan pemalsuan dokumen dan identitas. Perkawinan poligami “aspal” ini bisa digugat secara perdata melalui lembaga pembatalan perkawinan dan juga dapat dipidana karena pemalsuan dokumen dan identitas (harus diingat bahwa lebih banyak laki-laki yang memalsukan dokumen dan identitas).
Nah, lalu apa yang harus dilakukan, menurutku sih paling aman ya jangan diliriklah poligami dan buat kaum perempuan berhati-hatilah dengan poligami ini karena lebih sering menjerumuskan semua dibanding manfaatnya
(anggara.wordpress.com)
Post a Comment