Wanita Lebih Rentan Tertular Dan Menularkan HIV/AIDS
Di negeri tetangga, Thailand, pesatnya pembangunan ekonomi malah menyebabkan penyempitan pada lahan pertanian. Efeknya sangat luas, terutama pada kehdiupan kaum wanita. Dari kejadian itu, banyak kemudian wanita mencari jalan pintas untuk meraih kesenangan secara ekonomi atau hanya untuk sekedar mencari sesuap nasi, dengan menjadi pelacur. Kebanyakan dari mereka akhirnya lebih memilih tinggal di kota besar dan menjadi pemuas nafsu para hidung belang.
Kasus yang hampir sama terjadi juga di benua Afrika, yakni negeri Ghana. Suatu ketika pernah terjadi kasus penggusuran ribuan penduduk karena pembangunan sebuah bendungan di sungai volta. Buat kaum pria hal ini mungkin bukan masalah besar, karena mereka dengan cepat bisa mengganti profesi kerjanya menjadi buruh di perkotaan atau nelayan di pesisir lautan. Namun bagi kebanyakan wanita, hal ini menjadi masalah besar karena mereka tidak memiliki keahlian sebagaimana laki-laki. Akhirnya pilihan pekerjaan sebagai pelacur pun dijalani sebagai jawaban singkat atas masalah ekonomi yang menghimpit.
Ujung dari kedua masalah di atas sama. Sedikitnya pilihan dan keahlian membuat wanita lebih memilih jalan pintas, salah satunya menjadi pekerja seks komersial (PSK). Padahal, dengan profesi tersebut, kaum psk bisa menjadi sasaran empuk penularan virus HIV/AIDS, karena dari data terakhir menyebutkan bahwa 80 persen penularan virus mematikan yang belum ada obatnya itu, berasal dari hubungan seks yang tidak aman.
Masalahnya sekarang, melakukan hubungan seks yang dikatakan aman pun, dalam artian tidak berganti pasangan atau hanya dengan istri atau suami, bisa seratus persen terhindar dari penularan virus tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan Yayasan Kusuma Buana, ternyata di Indonesia banyak perempuan yang sudah menikah terancam positif AIDS. “Kebanyakan kasusnya adalah karena suami masih juga doyan ‘jajan’ meski sudah punya keluarga,” ujar dr Adi Sasongko, MA, ddari Yayasan Kusuma Buana.
Dalam hal ini, posisi tawar wanita memang tidak banyak di mata pria. Untuk itu, diprediksikan di masa akan datang akan semakin banyak wanita yang menjadi agen penyebaran virus mematikan tersebut.
Pasalnya, dikatakan Adi, selain sangat rentan secara biologis, wanita juga rentan secara sosiologis-gender. Selain itu, hanya perempuan yang dianugerahi kodrat untuk melahirkan, yang bisa menjadi salah satu faktor yang makin memperkuat tingginya angka penyebaran virus ini di dunia.
Secara Anatomis
Dijelaskan lebih jauh oleh Adi Sasongko bahwa kondisi anatomis kaum perempuan memang lebih memungkinkan masuknya virus HIV ke dalam organ reproduksinya. Struktur panggul wanita yang berada dalam posisi ‘menampung’, serta alat reproduksi wanita yang sifatnya ‘masuk ke dalam’, memungkinkan perkembangan berbagai macam infeksi tanpa bisa terdeteksi. “Kalau sudah terinfeksi, biasanya akan lebih mudah virus HIV/AIDS masuk ke dalam tubuh wanita.
Dibandingkan pria yang posisi kelaminnya ‘keluar, maka kemungkinan terjadinya infeksi pada alat vital bisa lebih dulu terdeteksi.
Disamping itu, lapisan mukosa (lapisan dalam) alat reproduksi wanita juga sangat halus dan mudah mengalami perlukaan pada proses hubungan seksual. Perlukaan ini juga memudahkan terjadinya infeksi virus HIV.
Faktor Psikologis
Sebuah pengujian data tentang lemahnya posisi tawar wanita hingga mengakibatkan tingginya probabilitas kaum ini terkena penyakit tersebut juga pernah dilakukan oleh Aishah Hajni Mohammed dari Malaysia. Publikasi mengenai hasil uji tersebut juga pernah dipublikasikan dalam jurnal Akademi bulan Juli 2002. Dari data kajian tentang wanita di Asia Tenggara secara umum, diketahui bahwa wanita dijangkiti AIDS karena status mereka yang subordinat kepada laki-laki dari segi sosial, ekonomi dan politik.
Selain itu, jangkitan AIDS di kalangan wanita juga dipengaruhi secara langsung oleh definisi budaya dan dibentuk secara sosial oleh peranan mereka dan definisi tentang seksualitas. “Selain itu, kekurangan dari segi pendapatan, kekuasaan dan kekayaan, telah menjadikan wanita tidak berupaya maksimal untuk menghindarkan diri mereka dari bahaya AIDS,” ujar Sasongko.
Meski demikian, beberapa kalangan wanita Indonesia, seperti artis Paquita Widjaya yang juga pemerhati masalah AIDS di Indonesia menampik anggapan kalau wanita Indonesia secara keseluruhan dikatakan lemah secara prikologis dibanding kaum pria. Dalam urusan seks, misalnya, dikatakan Paquita saat ini telah banyak wanita yang bisa mengatakan tidak kepada suami jika memang keadaan mereka sedang tidak sehat atau kelelahan, misalnya. “Jadi, kalau ada pangan yang mulai tidak toleran, saya yakin banyak kaum perempuan Indonesia yang sudah bisa bilang tidak,” tegasnya.
Meski demikian, Paquita memang tidak menyangkal kalau masih banyak perempuan yang berada di bawah tekanan pria secara psikologis, termasuk untuk urusan seks. Itu pula yang menjadikan wanita lebih rentan untuk tertular dan menularkan virus HIV/AIDS. “Tetapi tetap diyakini, bahwa faktor moral adalah hal utama yang bisa menyelamatkan seseorang dari bahaya AIDS. Kalau moralnya rendah, biar sudah punya pasangan tetap masih juga ingin menikmati yang lain, siapa bisa menjamin tak akan tertular?” tandas Paquita. (dian) - Gema Pria BKKBN
Kasus yang hampir sama terjadi juga di benua Afrika, yakni negeri Ghana. Suatu ketika pernah terjadi kasus penggusuran ribuan penduduk karena pembangunan sebuah bendungan di sungai volta. Buat kaum pria hal ini mungkin bukan masalah besar, karena mereka dengan cepat bisa mengganti profesi kerjanya menjadi buruh di perkotaan atau nelayan di pesisir lautan. Namun bagi kebanyakan wanita, hal ini menjadi masalah besar karena mereka tidak memiliki keahlian sebagaimana laki-laki. Akhirnya pilihan pekerjaan sebagai pelacur pun dijalani sebagai jawaban singkat atas masalah ekonomi yang menghimpit.
Ujung dari kedua masalah di atas sama. Sedikitnya pilihan dan keahlian membuat wanita lebih memilih jalan pintas, salah satunya menjadi pekerja seks komersial (PSK). Padahal, dengan profesi tersebut, kaum psk bisa menjadi sasaran empuk penularan virus HIV/AIDS, karena dari data terakhir menyebutkan bahwa 80 persen penularan virus mematikan yang belum ada obatnya itu, berasal dari hubungan seks yang tidak aman.
Masalahnya sekarang, melakukan hubungan seks yang dikatakan aman pun, dalam artian tidak berganti pasangan atau hanya dengan istri atau suami, bisa seratus persen terhindar dari penularan virus tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan Yayasan Kusuma Buana, ternyata di Indonesia banyak perempuan yang sudah menikah terancam positif AIDS. “Kebanyakan kasusnya adalah karena suami masih juga doyan ‘jajan’ meski sudah punya keluarga,” ujar dr Adi Sasongko, MA, ddari Yayasan Kusuma Buana.
Dalam hal ini, posisi tawar wanita memang tidak banyak di mata pria. Untuk itu, diprediksikan di masa akan datang akan semakin banyak wanita yang menjadi agen penyebaran virus mematikan tersebut.
Pasalnya, dikatakan Adi, selain sangat rentan secara biologis, wanita juga rentan secara sosiologis-gender. Selain itu, hanya perempuan yang dianugerahi kodrat untuk melahirkan, yang bisa menjadi salah satu faktor yang makin memperkuat tingginya angka penyebaran virus ini di dunia.
Secara Anatomis
Dijelaskan lebih jauh oleh Adi Sasongko bahwa kondisi anatomis kaum perempuan memang lebih memungkinkan masuknya virus HIV ke dalam organ reproduksinya. Struktur panggul wanita yang berada dalam posisi ‘menampung’, serta alat reproduksi wanita yang sifatnya ‘masuk ke dalam’, memungkinkan perkembangan berbagai macam infeksi tanpa bisa terdeteksi. “Kalau sudah terinfeksi, biasanya akan lebih mudah virus HIV/AIDS masuk ke dalam tubuh wanita.
Dibandingkan pria yang posisi kelaminnya ‘keluar, maka kemungkinan terjadinya infeksi pada alat vital bisa lebih dulu terdeteksi.
Disamping itu, lapisan mukosa (lapisan dalam) alat reproduksi wanita juga sangat halus dan mudah mengalami perlukaan pada proses hubungan seksual. Perlukaan ini juga memudahkan terjadinya infeksi virus HIV.
Faktor Psikologis
Sebuah pengujian data tentang lemahnya posisi tawar wanita hingga mengakibatkan tingginya probabilitas kaum ini terkena penyakit tersebut juga pernah dilakukan oleh Aishah Hajni Mohammed dari Malaysia. Publikasi mengenai hasil uji tersebut juga pernah dipublikasikan dalam jurnal Akademi bulan Juli 2002. Dari data kajian tentang wanita di Asia Tenggara secara umum, diketahui bahwa wanita dijangkiti AIDS karena status mereka yang subordinat kepada laki-laki dari segi sosial, ekonomi dan politik.
Selain itu, jangkitan AIDS di kalangan wanita juga dipengaruhi secara langsung oleh definisi budaya dan dibentuk secara sosial oleh peranan mereka dan definisi tentang seksualitas. “Selain itu, kekurangan dari segi pendapatan, kekuasaan dan kekayaan, telah menjadikan wanita tidak berupaya maksimal untuk menghindarkan diri mereka dari bahaya AIDS,” ujar Sasongko.
Meski demikian, beberapa kalangan wanita Indonesia, seperti artis Paquita Widjaya yang juga pemerhati masalah AIDS di Indonesia menampik anggapan kalau wanita Indonesia secara keseluruhan dikatakan lemah secara prikologis dibanding kaum pria. Dalam urusan seks, misalnya, dikatakan Paquita saat ini telah banyak wanita yang bisa mengatakan tidak kepada suami jika memang keadaan mereka sedang tidak sehat atau kelelahan, misalnya. “Jadi, kalau ada pangan yang mulai tidak toleran, saya yakin banyak kaum perempuan Indonesia yang sudah bisa bilang tidak,” tegasnya.
Meski demikian, Paquita memang tidak menyangkal kalau masih banyak perempuan yang berada di bawah tekanan pria secara psikologis, termasuk untuk urusan seks. Itu pula yang menjadikan wanita lebih rentan untuk tertular dan menularkan virus HIV/AIDS. “Tetapi tetap diyakini, bahwa faktor moral adalah hal utama yang bisa menyelamatkan seseorang dari bahaya AIDS. Kalau moralnya rendah, biar sudah punya pasangan tetap masih juga ingin menikmati yang lain, siapa bisa menjamin tak akan tertular?” tandas Paquita. (dian) - Gema Pria BKKBN
Post a Comment