Perlu Skenario Bagi Pasangan BEDA UMUR Jauh
Ada anggapan jodoh itu di tangan Tuhan. Tapi, orang selalu berusaha mencari yang "terbaik" bagi dirinya dan juga lingkungannya.
Salah satunya, perbedaan umur yang tidak terlalu menyolok. Jika ternyata yang kita peroleh berbeda dengan "norma" yang berlaku di masyarakat, apa yang harus kita persiapkan?
Sebuah tabloid TV & Hiburan pernah menurunkan head line tentang seorang artis, Eksanti, yang mau menikah. Judul yang dijual adalah, "Saya ingin menikahi pria lebih tua." Mengapa ucapan itu yang diangkat? Padahal kalau dibaca lebih jauh, sedikit sekali keterangan yang mendukung ucapan itu. Dari 8.041 lebih karakter huruf dalam tulisan tentang Eksanti dan calon suaminya, hanya 314 karakter - atau sekitar 4%-nya - yang mencoba menjelaskan mengapa Eksanti mengucapkan kalimat di atas. Jadi, apa istimewanya kalimat itu sehingga harus dijadikan head line?
Jatuh cinta tak pernah salah
"Saya tidak mengerti kenapa itu harus dibahas. Dari dulu kan masalahnya juga selisih usia," kata psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI, Dra. Dewi S. Matindas.
Lantas ia mencontohkan generasi ibunya. "Bekas murid menjadi istrinya, keponakan teman menjadi istrinya," ungkapnya.
Eileen Rachman, psikolog dan direktur Experd, juga berpendapat sama; kasus itu sudah terjadi sejak lama. Hanya kalau dulu orang melihatnya sebagai, "This is a big problem! Sekarang lebih cenderung sebagai tantangan."
Tapi, kedua psikolog juga sepakat, ada segudang masalah yang jauh lebih kompleks pada pasangan tersebut dibandingkan dengan pasangan normal. "Perbedaan usia yang sangat jauh akan menciptakan banyak perbedaan dan bisa menimbulkan masalah; mulai dari pergaulan, selera, dan cara memandang sesuatu. Kemampuan untuk saling menyesuaikan diri dan memahami satu sama lain sangat diperlukan dalam perkawinan beda usia jauh (BUJ). Selebihnya, saya pikir masalah yang dihadapi tak beda dengan perkawinan lainnya," kata Dr. J. Riberu, konsultan perkawinan dan pakar pendidikan.
Sebagai makhluk sosial, setiap individu memang tak bisa lepas dari gesekan dengan orang lain yang akan menilai kita. Inilah yang bisa menjebak pasangan BUJ ke dalam problem pelik. Bagaimana tidak? Ketika dalam tahap pacaran saja, mata masyarakat sudah mengitari setiap jengkal polah tingkah mereka. Tentu dengan bumbu dan bahan yang bisa menghasilkan sayuran yang tidak enak untuk dimasukkan dalam perut.
"Bila kami jalan berdua, orang-orang sering menatap dengan tatapan curiga. Seolah-olah saya ini pencari harta karun. Tanpa mempedulikan perasaan saya, mereka seperti mempergunjingkan saya tanpa sungkan," kata Rini (25) yang berpacaran dengan Ninok, 21 tahun lebih tua.
Kenyataan bahwa perkawinan di Indonesia adalah perkawinan keluarga membuat persoalan semakin melebar. Masing-masing keluarga pasangan tentu memiliki kriteria sendiri dalam menentukan calon menantu. Begitu tahu pasangan tersebut usianya terpaut jauh, pihak keluarga si muda akan memunculkan pertanyaan serius, "Mengapa dia?"
Ini dialami oleh Yanti (23), yang berpacaran dengan Yanto (bukan nama sebenarnya) lelaki berusia 46 tahun. "Orang tua saya marah sekali ketika tahu saya pacaran dengan Yanto. Mereka tak pernah mengerti mengapa saya jatuh cinta pada pria seperti dia," paparnya.
Pertanyaan dan kecurigaan akan bertambah jika yang muda adalah si pria. Nuansa matre akan kental mewarnai benak publik. Kita bisa menengok masa-masa sebelum perkawinan seorang selebriti yang menikah dengan perempuan berusia 10 tahun lebih tua, ... dan mapan! Apalagi jika dikaitkan dengan aktivitas seksual - di mana hantu menopause menghadang di usia paro baya - nuansa itu semakin mengkristal.
Apakah Dewi Amor sedang tidur ketika melepaskan panahnya, sehingga jatuh pada tempat yang salah?
"Jatuh cinta tidak pernah salah. Dalam diri seseorang itu ada kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Yang harus dipikirkan adalah layak atau tidak cinta saya jatuhkan di situ. Benarkah saya mencintainya, atau ada embel-embel lain, seperti status sosial, status ekonomi, dll. yang sifatnya fisik, bukan batiniah? Kalau alasan terakhir ini, banyak hal yang harus dipertimbangkan lagi," kata Dra. Ieda Pernomo Sigit Sidi, psikolog.
Ada need yang belum terpenuhi
Membahas fenomena pasangan BUJ tak bisa tidak harus melihat lingkungan mereka. Jodoh dan cinta memang erat sekali kaitannya dengan lingkungan.
Bahasa Jawa mewadahi kalimat itu dengan ungkapan, "Witing tresno jalaran kulino". Entah lingkungan semasa kecil maupun lingkungan di mana ia berkembang menjadi manusia dewasa. Peran orang tua juga turut membangun "rumah pemikiran" sang anak terhadap konsep perkawinan.
Ieda menambahkan, "Seperti yang sering dikatakan orang bahwa wanita jatuh cinta pada pria tua karena dia tidak cukup mendapat kasih sayang, perasaan terlindungi, pengayoman, keamanan, dan kenyamanan dari figur ayah. Bukan berarti dia tidak punya ayah, tapi itu kurang dirasakan. Kebutuhan yang kurang terpenuhi itu, tidak akan menyingkir begitu saja, dia tetap ada di dalam dan tetap menuntut pemuasan."
Hal yang sama juga diungkapkan Riberu, menanggapi kasus si muda pria menikah dengan si tua wanita. "Mungkin karena pria itu mengalami kurang kasih sayang di masa kecil atau kurang pengayoman yang baik sehingga ia selalu ingin diayomi dan itu didapatkannya dari wanita yang jauh lebih tua daripadanya."
Dewi juga yakin, pasti ada need yang belum terpenuhi dalam kasus pasangan BUJ. "Pada anak yang tumbuh dalam keluarga yang normal, yang matang dalam kehidupan sosialnya dan tahu apa yang dia inginkan, serta aspirasinya normal, saya rasa ia akan memilih yang perbedaannya tidak jauh."
Ada banyak need dibalik pasangan BUJ. Yang menonjol memang soal kematangan pribadi. "Saya lebih suka pria matang yang tahu apa yang harus dilakukannya dalam hidup ini. Itu akan lebih membuat saya nyaman dan tentram di sampingnya," aku Rini.
Tapi menurut Ieda, kematangan seseorang tidak bisa ditentukan oleh umur. Pengalaman-pengalaman yang diperolehnya ketika dia tumbuh justru besar kontribusinya terhadap kematangan seseorang. "Ada pria yang justru memasuki masa kegamangan di usia 45 - 50. Apalagi prestasi puncaknya hampir lewat," katanya.
Mengaitkan kedewasaan dengan umur sangatlah tidak relevan. "Apalagi usia tidaklah sama dengan ukuran tinggi badan atau tekanan darah yang bisa ditentukan standar ukuran yang tepat," sambung Dewi. Dewasa secara sosial dan fisik memang ada, "Tapi dewasa secara psikologi patokannya tidak ada," ujar Dewi lagi. Patokannya adalah kematangan dalam bertindak. Dengan begitu, bisa saja seorang adik yang berumur 21 tahun sikapnya lebih dewasa dibandingkan dengan kakaknya yang berusia 27 tahun.
Simak saja pengakuan Mirna (30), lulusan MBA salah satu perguruan tinggi di North Carolina, Amerika. George, suaminya, usianya tujuh tahun lebih muda. "Soal kedewasaan, tak jarang saya lebih childish dibandingkan George. Mungkin karena dia dibesarkan dengan latar belakang Barat yang mandiri sehingga membuatnya lebih matang," katanya mencoba menganalisa.
Dewi melihat, pola asuh di masyarakat kita selama ini memberi keleluasaan wanita untuk membangun kedewasaan secara emosi dan sosial melalui pelimpahan tanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik yang diberikan oleh ibunya. Sementara anak lelaki lebih banyak dilepaskan dalam perkembangannya untuk melakukan segala sesuatu yang membuat ia (mungkin) tidak cepat dewasa menghadapi masalah-masalah. Dengan begitu, pria menjadi dewasa dan matang pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan wanita.
Namun hal itu bukan hal yang mutlak. Pada tahap perkembangan memang wanita lebih dewasa dibandingkan dengan pria pada umur yang sama. Tapi pada umur-umur yang lain, tunggu dulu. "Misalkan wanita umur 25 tahun kawin dengan pria sebaya. Sebagai psikolog saya bilang, belum tentu si wanita lebih dewasa dibandingkan si pria (Dalam beberapa pembicaraan, Dewi malah sering menegaskan bahwa perkawinan pasangan usia setara justru sering kali ditandai dengan ketidakcocokan karena mereka memiliki ambisi dan kepentingan yang kira-kira sama, serta berada dalam perkembangan yang kira-kira sama juga, sehingga benturannya menjadi banyak). Masalah lingkungan juga sangat besar pengaruhnya. Memang itu individual sebab psikologi memang mempelajari manusia secara individu," kata Dewi.
Komitmen dan skenario
Yang perlu ditengarai soal need tadi adalah karena ekonomi. Inilah yang menimpa pasangan Meiska (26) dan Arman (51).
Dalam usianya yang muda, tentu darah muda Meiska minta penyaluran dalam lingkup sosial yang sesuai. Entah di pub, disko, atau nonton. Sementara Arman tak punya waktu dan minat untuk kegiatan rekreatif seperti itu. Andai ia memaksa kumpul dengan teman-teman Meiska, pembicaraannya tidak "nyambung".
Keadaannya juga menjadi terbalik manakala Meiska memasuki "dunianya" Arman bersama kolega-koleganya. "Saya tidak tahu apa yang menarik dalam pembicaraan mereka. Soal bisnis ini, pengusaha itu, uang ketat, dan tetek bengek lainnya. Rasanya saya mirip orang bodoh yang tak tahu apa-apa," tutur Meiska.
Menyadari bahwa ada yang tidak biasa dalam langkah mereka adalah sebagian kunci bagi pasangan BUJ dalam menatap lembaga perkawinan. Kesadaran itu memaksa masing-masing pasangan untuk mengenal pasangannya lebih intensif. Jatuh cinta memang sulit dikendalikan. Tapi, "Cinta bisa ditata serta dibahas secara objektif dan rasional. Kenapa saya jatuh cinta pada dia? Apa yang membuat saya mencintai dia? Apakah karena sikapnya? Apakah benar dia orang yang penuh perhatian, sabar, mengayomi, dan sebagainya? Ketika masuk dalam kehidupan dia, Anda harus pasang radar, tangkap sinyal-sinyal. Apakah yang ditampilkan itu murni atau tidak. Di sini paling tidak Anda mendapat masukan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan," ujar Ieda.
Jika sudah sadar, "Tak ada salahnya membuat skenario, lho!" saran Eileen. Bukankah film yang baik juga berasal dari skenario yang kuat? "Semisal, usia perkawinan saya nanti paling berumur 15 atau 20 tahun. Nah, setelah itu harus bagaimana?"
Tapi kesadaran dan skenario belumlah cukup. Dewi menekankan pada komitmen yang harus mereka buat sebelum masuk ke bahtera perkawinan. Mitos mengatakan, dalil perkawinan 50 - 50. "Setiap orang ingin mencari keseimbangan. Masalahnya, apakah dalam kehidupan bersama itu pembagian 50 - 50 bisa tercapai? Tidak, kan? Di situlah pentingnya komitmen," tandas lulusan Fakultas Psikologi ini.
Terakhir, menerima keadaan pasangan apa adanya. "Jangan beranggapan bisa mengubah pasangan Anda. Itu tak mungkin. Cara paling baik adalah mencoba memahami dan menerimanya," kata Dewi. Dalam usaha memahami dan menerima itu diperlukan "bumbu". Soalnya, bahan dasar cinta saja tak cukup.
Menerima ini termasuk kesediaan untuk membimbing pasangan. Dewi menyebutnya sebagai tanggung jawab moral si tua. "Itu kalau mereka menganggap perkawinan sebagai suatu hal yang sangat penting. Bukan sekedar show of force bahwa akhirnya saya dapat dia atau lingkungan tahu saya sanggup mempersunting dia."
Jika sudah begitu, tunggu apalagi. Apalagi sekarang ini, menurut Dewi, masyarakat sudah lebih toleran terhadap hal itu. Jadi, jika pasangan Anda beda usianya sangat jauh tak perlu malu mem-plengkung-kan janur. Asal sudah tahu konsekuensinya. (kafedago.com)
Salah satunya, perbedaan umur yang tidak terlalu menyolok. Jika ternyata yang kita peroleh berbeda dengan "norma" yang berlaku di masyarakat, apa yang harus kita persiapkan?
Sebuah tabloid TV & Hiburan pernah menurunkan head line tentang seorang artis, Eksanti, yang mau menikah. Judul yang dijual adalah, "Saya ingin menikahi pria lebih tua." Mengapa ucapan itu yang diangkat? Padahal kalau dibaca lebih jauh, sedikit sekali keterangan yang mendukung ucapan itu. Dari 8.041 lebih karakter huruf dalam tulisan tentang Eksanti dan calon suaminya, hanya 314 karakter - atau sekitar 4%-nya - yang mencoba menjelaskan mengapa Eksanti mengucapkan kalimat di atas. Jadi, apa istimewanya kalimat itu sehingga harus dijadikan head line?
Jatuh cinta tak pernah salah
"Saya tidak mengerti kenapa itu harus dibahas. Dari dulu kan masalahnya juga selisih usia," kata psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI, Dra. Dewi S. Matindas.
Lantas ia mencontohkan generasi ibunya. "Bekas murid menjadi istrinya, keponakan teman menjadi istrinya," ungkapnya.
Eileen Rachman, psikolog dan direktur Experd, juga berpendapat sama; kasus itu sudah terjadi sejak lama. Hanya kalau dulu orang melihatnya sebagai, "This is a big problem! Sekarang lebih cenderung sebagai tantangan."
Tapi, kedua psikolog juga sepakat, ada segudang masalah yang jauh lebih kompleks pada pasangan tersebut dibandingkan dengan pasangan normal. "Perbedaan usia yang sangat jauh akan menciptakan banyak perbedaan dan bisa menimbulkan masalah; mulai dari pergaulan, selera, dan cara memandang sesuatu. Kemampuan untuk saling menyesuaikan diri dan memahami satu sama lain sangat diperlukan dalam perkawinan beda usia jauh (BUJ). Selebihnya, saya pikir masalah yang dihadapi tak beda dengan perkawinan lainnya," kata Dr. J. Riberu, konsultan perkawinan dan pakar pendidikan.
Sebagai makhluk sosial, setiap individu memang tak bisa lepas dari gesekan dengan orang lain yang akan menilai kita. Inilah yang bisa menjebak pasangan BUJ ke dalam problem pelik. Bagaimana tidak? Ketika dalam tahap pacaran saja, mata masyarakat sudah mengitari setiap jengkal polah tingkah mereka. Tentu dengan bumbu dan bahan yang bisa menghasilkan sayuran yang tidak enak untuk dimasukkan dalam perut.
"Bila kami jalan berdua, orang-orang sering menatap dengan tatapan curiga. Seolah-olah saya ini pencari harta karun. Tanpa mempedulikan perasaan saya, mereka seperti mempergunjingkan saya tanpa sungkan," kata Rini (25) yang berpacaran dengan Ninok, 21 tahun lebih tua.
Kenyataan bahwa perkawinan di Indonesia adalah perkawinan keluarga membuat persoalan semakin melebar. Masing-masing keluarga pasangan tentu memiliki kriteria sendiri dalam menentukan calon menantu. Begitu tahu pasangan tersebut usianya terpaut jauh, pihak keluarga si muda akan memunculkan pertanyaan serius, "Mengapa dia?"
Ini dialami oleh Yanti (23), yang berpacaran dengan Yanto (bukan nama sebenarnya) lelaki berusia 46 tahun. "Orang tua saya marah sekali ketika tahu saya pacaran dengan Yanto. Mereka tak pernah mengerti mengapa saya jatuh cinta pada pria seperti dia," paparnya.
Pertanyaan dan kecurigaan akan bertambah jika yang muda adalah si pria. Nuansa matre akan kental mewarnai benak publik. Kita bisa menengok masa-masa sebelum perkawinan seorang selebriti yang menikah dengan perempuan berusia 10 tahun lebih tua, ... dan mapan! Apalagi jika dikaitkan dengan aktivitas seksual - di mana hantu menopause menghadang di usia paro baya - nuansa itu semakin mengkristal.
Apakah Dewi Amor sedang tidur ketika melepaskan panahnya, sehingga jatuh pada tempat yang salah?
"Jatuh cinta tidak pernah salah. Dalam diri seseorang itu ada kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Yang harus dipikirkan adalah layak atau tidak cinta saya jatuhkan di situ. Benarkah saya mencintainya, atau ada embel-embel lain, seperti status sosial, status ekonomi, dll. yang sifatnya fisik, bukan batiniah? Kalau alasan terakhir ini, banyak hal yang harus dipertimbangkan lagi," kata Dra. Ieda Pernomo Sigit Sidi, psikolog.
Ada need yang belum terpenuhi
Membahas fenomena pasangan BUJ tak bisa tidak harus melihat lingkungan mereka. Jodoh dan cinta memang erat sekali kaitannya dengan lingkungan.
Bahasa Jawa mewadahi kalimat itu dengan ungkapan, "Witing tresno jalaran kulino". Entah lingkungan semasa kecil maupun lingkungan di mana ia berkembang menjadi manusia dewasa. Peran orang tua juga turut membangun "rumah pemikiran" sang anak terhadap konsep perkawinan.
Ieda menambahkan, "Seperti yang sering dikatakan orang bahwa wanita jatuh cinta pada pria tua karena dia tidak cukup mendapat kasih sayang, perasaan terlindungi, pengayoman, keamanan, dan kenyamanan dari figur ayah. Bukan berarti dia tidak punya ayah, tapi itu kurang dirasakan. Kebutuhan yang kurang terpenuhi itu, tidak akan menyingkir begitu saja, dia tetap ada di dalam dan tetap menuntut pemuasan."
Hal yang sama juga diungkapkan Riberu, menanggapi kasus si muda pria menikah dengan si tua wanita. "Mungkin karena pria itu mengalami kurang kasih sayang di masa kecil atau kurang pengayoman yang baik sehingga ia selalu ingin diayomi dan itu didapatkannya dari wanita yang jauh lebih tua daripadanya."
Dewi juga yakin, pasti ada need yang belum terpenuhi dalam kasus pasangan BUJ. "Pada anak yang tumbuh dalam keluarga yang normal, yang matang dalam kehidupan sosialnya dan tahu apa yang dia inginkan, serta aspirasinya normal, saya rasa ia akan memilih yang perbedaannya tidak jauh."
Ada banyak need dibalik pasangan BUJ. Yang menonjol memang soal kematangan pribadi. "Saya lebih suka pria matang yang tahu apa yang harus dilakukannya dalam hidup ini. Itu akan lebih membuat saya nyaman dan tentram di sampingnya," aku Rini.
Tapi menurut Ieda, kematangan seseorang tidak bisa ditentukan oleh umur. Pengalaman-pengalaman yang diperolehnya ketika dia tumbuh justru besar kontribusinya terhadap kematangan seseorang. "Ada pria yang justru memasuki masa kegamangan di usia 45 - 50. Apalagi prestasi puncaknya hampir lewat," katanya.
Mengaitkan kedewasaan dengan umur sangatlah tidak relevan. "Apalagi usia tidaklah sama dengan ukuran tinggi badan atau tekanan darah yang bisa ditentukan standar ukuran yang tepat," sambung Dewi. Dewasa secara sosial dan fisik memang ada, "Tapi dewasa secara psikologi patokannya tidak ada," ujar Dewi lagi. Patokannya adalah kematangan dalam bertindak. Dengan begitu, bisa saja seorang adik yang berumur 21 tahun sikapnya lebih dewasa dibandingkan dengan kakaknya yang berusia 27 tahun.
Simak saja pengakuan Mirna (30), lulusan MBA salah satu perguruan tinggi di North Carolina, Amerika. George, suaminya, usianya tujuh tahun lebih muda. "Soal kedewasaan, tak jarang saya lebih childish dibandingkan George. Mungkin karena dia dibesarkan dengan latar belakang Barat yang mandiri sehingga membuatnya lebih matang," katanya mencoba menganalisa.
Dewi melihat, pola asuh di masyarakat kita selama ini memberi keleluasaan wanita untuk membangun kedewasaan secara emosi dan sosial melalui pelimpahan tanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik yang diberikan oleh ibunya. Sementara anak lelaki lebih banyak dilepaskan dalam perkembangannya untuk melakukan segala sesuatu yang membuat ia (mungkin) tidak cepat dewasa menghadapi masalah-masalah. Dengan begitu, pria menjadi dewasa dan matang pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan wanita.
Namun hal itu bukan hal yang mutlak. Pada tahap perkembangan memang wanita lebih dewasa dibandingkan dengan pria pada umur yang sama. Tapi pada umur-umur yang lain, tunggu dulu. "Misalkan wanita umur 25 tahun kawin dengan pria sebaya. Sebagai psikolog saya bilang, belum tentu si wanita lebih dewasa dibandingkan si pria (Dalam beberapa pembicaraan, Dewi malah sering menegaskan bahwa perkawinan pasangan usia setara justru sering kali ditandai dengan ketidakcocokan karena mereka memiliki ambisi dan kepentingan yang kira-kira sama, serta berada dalam perkembangan yang kira-kira sama juga, sehingga benturannya menjadi banyak). Masalah lingkungan juga sangat besar pengaruhnya. Memang itu individual sebab psikologi memang mempelajari manusia secara individu," kata Dewi.
Komitmen dan skenario
Yang perlu ditengarai soal need tadi adalah karena ekonomi. Inilah yang menimpa pasangan Meiska (26) dan Arman (51).
Dalam usianya yang muda, tentu darah muda Meiska minta penyaluran dalam lingkup sosial yang sesuai. Entah di pub, disko, atau nonton. Sementara Arman tak punya waktu dan minat untuk kegiatan rekreatif seperti itu. Andai ia memaksa kumpul dengan teman-teman Meiska, pembicaraannya tidak "nyambung".
Keadaannya juga menjadi terbalik manakala Meiska memasuki "dunianya" Arman bersama kolega-koleganya. "Saya tidak tahu apa yang menarik dalam pembicaraan mereka. Soal bisnis ini, pengusaha itu, uang ketat, dan tetek bengek lainnya. Rasanya saya mirip orang bodoh yang tak tahu apa-apa," tutur Meiska.
Menyadari bahwa ada yang tidak biasa dalam langkah mereka adalah sebagian kunci bagi pasangan BUJ dalam menatap lembaga perkawinan. Kesadaran itu memaksa masing-masing pasangan untuk mengenal pasangannya lebih intensif. Jatuh cinta memang sulit dikendalikan. Tapi, "Cinta bisa ditata serta dibahas secara objektif dan rasional. Kenapa saya jatuh cinta pada dia? Apa yang membuat saya mencintai dia? Apakah karena sikapnya? Apakah benar dia orang yang penuh perhatian, sabar, mengayomi, dan sebagainya? Ketika masuk dalam kehidupan dia, Anda harus pasang radar, tangkap sinyal-sinyal. Apakah yang ditampilkan itu murni atau tidak. Di sini paling tidak Anda mendapat masukan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan," ujar Ieda.
Jika sudah sadar, "Tak ada salahnya membuat skenario, lho!" saran Eileen. Bukankah film yang baik juga berasal dari skenario yang kuat? "Semisal, usia perkawinan saya nanti paling berumur 15 atau 20 tahun. Nah, setelah itu harus bagaimana?"
Tapi kesadaran dan skenario belumlah cukup. Dewi menekankan pada komitmen yang harus mereka buat sebelum masuk ke bahtera perkawinan. Mitos mengatakan, dalil perkawinan 50 - 50. "Setiap orang ingin mencari keseimbangan. Masalahnya, apakah dalam kehidupan bersama itu pembagian 50 - 50 bisa tercapai? Tidak, kan? Di situlah pentingnya komitmen," tandas lulusan Fakultas Psikologi ini.
Terakhir, menerima keadaan pasangan apa adanya. "Jangan beranggapan bisa mengubah pasangan Anda. Itu tak mungkin. Cara paling baik adalah mencoba memahami dan menerimanya," kata Dewi. Dalam usaha memahami dan menerima itu diperlukan "bumbu". Soalnya, bahan dasar cinta saja tak cukup.
Menerima ini termasuk kesediaan untuk membimbing pasangan. Dewi menyebutnya sebagai tanggung jawab moral si tua. "Itu kalau mereka menganggap perkawinan sebagai suatu hal yang sangat penting. Bukan sekedar show of force bahwa akhirnya saya dapat dia atau lingkungan tahu saya sanggup mempersunting dia."
Jika sudah begitu, tunggu apalagi. Apalagi sekarang ini, menurut Dewi, masyarakat sudah lebih toleran terhadap hal itu. Jadi, jika pasangan Anda beda usianya sangat jauh tak perlu malu mem-plengkung-kan janur. Asal sudah tahu konsekuensinya. (kafedago.com)
Post a Comment