Jangan pernah Sebut Istrimu Penganggur

Jangan pernah menyebut istrimu sebagai penganggur jika ia memang tidak bekerja di luaran. Karena bahkan ketika
ia kau sebut sebagai ibu rumah tangga pun selalu terdengar nada rendah diri dalam suaramu. Karena selalu ada kata ''cuma'' sebagai awalanmu.

Semua itu sebetulnya hanyalah gambaran sikap meremehkanmu atas status ibu rumah tangga, atas seorang wanita yang
sebetulnya tengah mengerjakan pekerjaan besar, yang bisa jadi lebih besar dari profesimu sendiri.

Semua itu hanyalah gambaran betapa engkau sendiri masih terperangkap pola berpikir kuno seperti yang dipakai orang-orang tua kita dahulu: bahwa hanya orang yang berkerja di luar rumah yang layak disebut bekerja.

Inilah situasi yang membuat seorang kawan, yang telah lulus sarjana dan membuka peternakan ayam di desanya, tetap didera penyakit rendah diri.

Karena, meskipun peternakan itu berjalan baik, telah sanggup menggaji beberapa orang pekerja, dan si kawan sarjana ini mestinya telah berhak memperoleh sebutan juragan, ia tetap memilih menghentikan usahanya.

Bukan karena usaha bangkrut, melainkan karena setiap hari orang tuanya selalu menggerutu, kenapa ia juga belum memperoleh pekerjaan. Karena orang-orang di desanya juga terus melontarkan rasa herannya, bagaimana mungkin bersekolah begitu lama kalau cuma untuk kembali ke desa dan menjadi peternak biasa.

Sekarang, di saat sebagian besar wanita sudah mulai bersemangat bekerja di luar rumah, cemaslah atas suatu keadaan yang bisa jadi akan menimpa kita semua: akan ada krisis ibu rumah tangga. Jika engkau berdua sama-sama bekerja, ekonomi rumah tanggamu bisa jadi akan naik di tingkat yang sangat baik, tapi diam-diam engkau juga sedang berjudi dengan keadaan yang belum tentu engkau akan jadi pemenang.

Karena akan makin banyak anak-anak yang kesepian. Yang ketika mereka bangun pagi, ketika mereka tengah sibuk bergiat hendak berangkat sekolah, mereka akan sama sibuknya sepertimu yang juga bergiat hendak bekerja.

Engkau dan anak-anakmu akan sama-sama didera perasaan buru-buru. Anak-anak itu tak sempat lagi punya kekuasaan
meminta, dilayani dan disemangati di saat paling rawan dalam hidupnya.

Ketika anakmu pulang sekolah dengan perasaan lelah, entah karena tekanan lingkungannya yang keras, nilainya yang buruk, gurunya yang galak, atau sekadar murung karena ia mulai jatuh cinta, di rumah ia tak menemukan siapa-siapa, kecuali meja makan yang sepi. Ketika ia bersabar menunggu engkau pulang dengan segenap keinginan butuh sentuhan dan kemanjaan, engkau sendiri sudah dalam keadaan penat karena kerja seharian, karena sikap sinis atasan atau iklim kerja yang tidak memuaskan.

Maka akan makin banyak anak-anak yang menjerit diam-diam. Anak-anak yang jika mereka ingin berkata, tak ada yang sempat mendengarnya. Anak-anak yang jika ingin kolokan, tak ada yang sempat memanjakan. Anak-anak yang jika sedang murung dan peka, tak ada yang menggubrisnya.

Padahal kita pernah menjadi anak-anak. Yang jika kita sedang bicara sementara orang-orang tak mendengarnya, kita akan merasa sangat sia-sia. Marah dan tak berharga. Sungguh sebuah keadaan yang sanggup membuat manusia akan jadi rapuh dan percuma. Keadaan tanpa apresiasi dan pujian adalah sebuah medan yang sangat berbahaya, tidak cuma bagi anak-anak, tapi juga bagi semua dari kita.

Maka jika orang tua lupa waktu pada anaknya, jika pemimpin lupa berempati pada rakyatnya, jika atasan lupa memuji
bawahan, jika suami lupa menghargai istri, sesungguhnya orang-orang ini sedang berada di rumah kosong. Rumah semacam itu pasti kering dan tidak produktif. Hidup di lahan kering sungguh merupakan kutukan yang berat bagi seluruh anggota keluarga.

Tidak ada komentar

Travel is my dream

Mata Lelaki

Model Seksi Cantik

Diberdayakan oleh Blogger.